Manusia Lebih Mulia Dibanding Malaikat, dan Lebih Hina Dari Binatang - Mahasiswa Akuntansi
Pasang Iklan Disini

23 Jan 2015

Manusia Lebih Mulia Dibanding Malaikat, dan Lebih Hina Dari Binatang

Dosen :Dr. H. Muh Alwi Uddin, S.Ag., M.Ag.

AIK III
"MANUSIA LEBIH MULIA DIBANDING MALAIKAT, DAN LEBIH HINA DARI BINATANG"



OLEH :
KELOMPOK 6
INA MUSTIKA AYU (105730457613)
SARTIKA (105730457713)
FITRAHYANA IBRAHIM (105730457813)
ST.LULU NADIRA (105730457913)
TRI ETIKA WULANDARI (105730458313)



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TAHUN 2014/2015




KATA PENGANTAR
Assaalamu alaikum wr. wb.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH Swt,atas rahmat dan hidayahnya_lah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalahnya dengan baik,tidak lupa pula kita kirimkan shalawat dan taslim atas Nabi besar Muhammad Saw,yang telah membawh kita dari alam kegelapan kealam yang terang menderang.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan banyak terimah kasih kepada dosen pembimbing,dan para pembaca dimana makalah ini penulis sadari bahwah makalah ini belum mendekati kesempurnaan,karena kesempurnaan hayalah milik Allah Swt.Dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca,atas kritik dan sarannya penulis mengucapkan bayak terimah kasih.
Wasalamu Alaikum wrwb.


                                                                                                                Makassar,14 januari 2015
                                                                                                                       
                                                                                                                              Penulis 




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR           ………………………………………………………………2
DAFTAR ISI                          ……………………………………………………………….3
BAB I
PENDAHUALUAN :                        ………………………………………………………………4
A.    LATAR BELAKANG           ………………………………………………4.1
B.     RUMUSAN MASALAH      ………………………………………………4.1
C.     MANFAAT PENULISAN    ………………………………………………4.1
BAB II
PEMBAHASAN :                  ………………………………………………………………5

KESIMPULAN                      ……………………………………………………………...13




BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
       Perlu disampaikan terlebih dahulu, pengetahuan kita tentang malaikat, khususnya umat Islam, berpedoman kepada informasi yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan hadits, karena keduanya memang berasal dari Allah yang Maha Tahu, Al-Qur’an adalah wahyu dengan redaksi kalimat yang sepenuhnya berasal dari Allah, sedangkan hadits adalah wahyu yang redaksi kalimatnya berasal dari Rasulullah, namun keduanya adalah wahyu juga (dengan catatan hadits yang dimaksud memang berasal dari ucapan Rasulullah). Sebagai seorang Muslim, kita tidak mengetahui tentang malaikat diluar jalur tersebut. Mungkin saja ada yang mengenal malaikat melalui kontak langsung misalnya Lia Aminuddin yang mengaku nabi dan menikah dengan malaikat Jibril, atau juga banyak orang yang menyatakan diri sebagai wali atau orang sakti karena mengaku telah bertemu malaikat, namun baiknya hal tersebut kita abaikan saja.

B .RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari uraian yang disampaika penulis diatas dengan ini,penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
a.       Apa yang disebut dengan malaikat ?
b.      Perbedaan  malaikat dengan manusia ?

C.MANFAAT PENULISAN
      Agar kita selalu mengingat kepada sang pencipta yaitu Allah swt ,tidak pernah lalai dari segalah perintah_nya serta menjauhkan diri dari segalah yang dilarangnya dan memposisikan diri kita bahwa kita hidup didunia ini hayalah sementara.


BAB II
PEMBAHASAN
     Informasi Al-Qur’an dan hadits menyatakan malaikat diciptakan Allah dengan desain sebagai makhluk yang dimuliakan :

Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak", Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, (Al-Anbiyaa': 26)

Bentuk kalimat ‘makhluk yang dimuliakan’ adalah kalimat pasif, artinya kemuliaan malaikat bukan merupakan hasil dari tindakan bebas mereka untuk menjadi mulia, tapi karena memang sudah ‘dicetak’ seperti itu.

Penjelasan Al-Qur’an yang lain tentang sosok malaikat misalnya : Malaikat selalu mentaati perintah Allah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya (QS 21:27), menjalankan kewajiban yang penting seperti menyangga ‘arsy (QS 69:17) mengatur urusan yang terkait kehidupan manusia (QS 79:5), mengambil nyawa manusia dan makhluk hidup lain (QS 7:37), sebagai pengawas dan pencatat perbuatan manusia (QS 82:10-12). Semua penjelasan tersebut menunjukkan malaikat berfungsi sebagai ‘instrument’ yang melengkapi kehidupan manusia, sebagai ‘perpanjang-tangan’ Allah dalam interaksi-Nya dengan manusia.

Malaikat tidak mempunya nafsu, Al-Qur’an menceritakan bahwa mereka tidak memiliki nafsu untuk makan dan minum melalui kisah kedatangan mereka kepada nabi Ibrahim dan menolak makanan yang disodorkan beliau (QS 11:69-70). Dalam suatu pernyataannya Ali bin Abi Thalib menyatakan :“Tidak ada kelelahan dan kelalaian di dalam diri mereka, serta tidak pula ada penentangan … Rasa kantuk tidak pernah terlihat pada wajah-wajah mereka, dan akal mereka tidak akan pernah berada dalam kekuasaan hawa nafsu dan kelalaian. Badan mereka tidak pernah diselimuti oleh rasa lelah, dan mereka pun tidak pernah berada dalam sulbi seorang ayah dan rahim seorang ibu.”

Dengan demikian maka malaikat juga tidak pernah melakukan jihad karena inti dari jihad adalah pengorbanan harta dan nyawa. Ketika Allah menugaskan para malaikat membantu kaum muslimin dalam perang Badar (QS 33:9), hal tersebut tidak bisa diartikan malaikat ikut berjihad, karena mereka tidak akan pernah mati dan bahkan tidak akan capek dan lelah, apalagi harus kehilangan harta pada saat itu. Berbeda dengan manusia, akibat dari desain mereka yang bisa melakukan pengorbanan maka manusia memiliki konsep jihad yang bisa mereka pilih untuk dilakukan.

Malaikat juga bukan berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Al-Qur’an mencela kaum musyrik Makkah ketika mereka menyatakan malaikat berjenis kelamin perempuan :

"Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban." (Az-Zhukhruf:19)

Sebaliknya, sekalipun dalam beberapa kasus, malaikat menampakkan diri sebagai sosok laki-laki, namun tidak ada nash yang menyatakan malaikat berjenis kelamin laki-laki. Karena itu bisa dikatakan malaikat juga tidak memiliki nafsu seksual. Al-Qur’an juga menyatakan bahwa malaikat tidak memiliki kebebasan untuk memilih, berinsiatif dan keinginan, semata-mata hanya menjalankan perintah :

"mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya." (Al-Anbiyaa 27-28)

Berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadist diatas, kita bisa memberikan gambaran bahwa sosok malaikat adalah makhluk yang diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tidak memiliki kehendak dan keinginan pribadi, hanya bergerak dalam perbuatan-perbuatan mulia karena memang telah dimuliakan oleh Allah. Sebaliknya, kesempurnaan manusia terletak kepada kehendak bebas yang telah ditanamkan Allah dalam desain manusia, Allah menyatakan ;

"dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (Asy-Syams 7-10)

Ketika manusia menjadi mulia, maka kemuliaannya merupakan hasil dari pilihannya sendiri, jelas ini berbeda dengan kemuliaan malaikat yang telah ditetapkan untuk dimuliakan Allah. Kita menjadi mulia diatas banyaknya alternatif untuk tidak menjadi mulia, hal ini tentu saja berbeda ‘bobotnya’ kalau kemuliaan tersebut kita dapatkan karena tidak ada alternatif lain dan memang menjadi satu-satunya pilihan.

Manusia yang mampu memuliakan diri mereka dikatakan Al-Qur’an dengan sebutan ‘khairul bariyyah’ :
inna alladziina aamanuu wa'amiluu shaalihaati ulaa-ika hum khayru albariyyati
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk." (Al-Bayyinah 7)
      Dalam ayat ini Allah tidak menyebut manusia yang beriman dan mengerjakan amal saleh dengan kata ‘al-khalqa’ seperti halnya ketika Dia menyebut manusia pada ayat lain, misalnya QS 10:4,QS10:34,QS27:74yang diartikan sebagai : ciptaan. Pada Al-Bayyinah 7 manusia diistilahkan dengan ‘al-bariyyah’ yang berasal dari akar kata ‘ba-ra-alif’ yang menurunkan kata dalam bahasa Arab yang diartikan bebas, berlepas diri (QS 43:26) , dan (QS 54:43), maka istilah ‘sebaik-baiknya makhluk’ tersebut mempunyai nuansa bahwa kebaikan tersebut berasal dari pilihan bebas yag sudah ditanamkan Allah dalam diri manusia. Sebaliknya pada ayat sebelumnya Allah juga menyebut istilah ‘syarrul bariyyah’ – seburuk-buruknya makhluk untuk manusia yang ingkar,artinya keburukan tersebut muncul dari pilihan manusia itu sendiri.
      Pemahaman dari pemakaian kata ini juga bisa diartikan bahwa kebaikan dan keburukan manusia tersebut merupakan kondisi ‘yang paling’ diantara seluruh makhluk ciptaan, bahwa manusia yang beriman dan beramal saleh merupakan makhluk yang terbaik diantara semua makhluk, termasuk malaikat, sebaliknya bagi mereka yang ingkar akan menjelma menjadi makhluk terburuk termasuk dibandingkan dengan binatang sekalipun (QS 7:179). Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan :”Abu Hurairah dan sejumlah ulama telah menjadikan surat Al-bayyinah 7 ini sebagai dalil pengutamaan orang-orang mukmin atas para malaikat”.(Tafsir IbuKatsirjilid8,hal518)
       Beberapa tahun lalu kita mendapatkan berita dari media massa tentang penduduk suatu desa yang menemukan seorang bayi yang baru lahir tergeletak menangis dikebun terpencil, sekujur tubuhnya dikerubuti semut karena masih terbalur dengan air ketuban, bayi tersebut ternyata dibuang ibunya yang malu karena melahirkan anak haram diluar nikah. Bayangkan.., bahkan Iblis-pun tidak akan sanggup membuang anaknya dengan cara demikian. Pada peristiwa lain seperti diceritakan oleh Ahmad Deedat dalam suatu ceramahnya, beliau mengisahkan kejadian terjangan badai pada suatu kota dipinggir laut di Afrika Selatan. Dalam kondisi darurat tersebut para penduduk melihat seekor anjing sedang berjuang melawan maut karena terseret ombak besar. Mereka lalu berusaha menolong anjing dengan berpegangan tangan, mempertaruhkan nyawa mereka agar bisa menjangkau anjing yang terseret ketengah laut tersebut. Bayangkan lagi, bahkan malaikat-pun tidak akan mau melakukan hal seperti itu.

‘Kebanggaan’ Allah terhadap kesempurnaan manusia tergambar dalam ayat Al-Qur'an ini :
"sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."(At-Tiin:4)
      Manusia bisa memuliakan diri mereka melebihi malaikat, dan juga menghinakan diri lebih rendah dari binatang, sebab manusia telah di desain Allah dengan tingkat kesempurnaan yang melebihi dari makhluk manapun.
     Munurut perspektif al-Qur'an, apakah manusia itu merupakan makhluk yang amat zalim (ẓulûm) dan amat bodoh (jahûl) atau ia merupakan seorang khalifah Allah?
Jawaban:
1.      Al-Qur'an dari satu sisi menyebut kedudukan tinggi manusia dengan berbagai persepsi yang mulia, manakala dari satu sisi yang lain, terdapat banyak ayat-ayat yang mencela dan mengecam manusia.
2.      Gerakan manusia yang berada di dalam dua garis lengkung menaik (qaws ṣuʻūd) dan menurun (qaws nuzūl) adalah infiniti serta tidak terhad dan tanpa sempadan. Ini disebabkan potensi yang dimilikinya adalah luar biasa.
3.      Manusia merupakan sebuah makhluk dwi-dimensi; dimensi ruḥānī dan malakūtī serta dimensi haywānī dan nafsānī.
4.      Manusia dapat memanfaatkan kehendak dan pilihan, tidak seperti kewujudan yang lain. Mereka dapat memilih untuk menyiapkan jalan kehidupan berdasarkan latar belakang dan sarana.
5.      Sesiapa pun yang meraih makam khalīfah Ilāhī pasti mengikuti hidayah Allah, menahan serta mengawal dirinya dari penderhakaan dan keinginan haiwani.
Jawaban Detil:
Melihat sepintas lalu gambaran keseluruhan ayat-ayat al-Qur'an kita akan mendapati sebuah kesimpulan bahawa secara umumnya, kita menghadapi dua kelompok manusia:
Bahagian pertama, ayat-ayat yang mengagungkan manusia dan menyebut “manusia” dengan ungkapan yang sangat mulia dan tinggi. Contoh ayat-ayat tersebut ialah:
1.      "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki daripada yang baik-baik, dan Kami utamakan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (Qs. Al-Isra [17]:70)
2.      "Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerosakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami sentiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]:30)
3.      "Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan khuatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul amanat itu. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (lantaran ia tidak mengenal amanat itu dan menzalimi dirinya sendiri).” Qs. Al-Ahzab [33]:72) dan sebagainya.
Akan tetapi terdapat juga sebahagian ayat-ayat yang mencela manusia, dengan bahasa yang keras mengherdik manusia misalnya dengan redaksi, "Manusia tidak pernah jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka, dia menjadi putus asa lagi putus harapan. Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, “Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhan-ku, maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya.” Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras. Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia (yang lalai), ia berpaling dan menjauhkan diri. Tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa." (Qs. Fusshilat [41]:49-51); atau "Dan jika Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi." (Qs. Syura [42]:27); "Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (Qs. Ibrahim [22]:34); "Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (lantaran ia tidak mengenal amanat itu dan menzalimi dirinya sendiri)." (Qs. Al-Ahzab [33]:72); "maka dengan tidak semena-mena menjadilah ia seorang pembantah yang terang jelas bantahannya" (Qs. Yasin [36]:77); "Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian." (Qs. Al-Ashr [103]:2) dan lain-lain lagi.
Dengan menyebut ayat-ayat di atas, maka timbullah pertanyaan ini, iaitu apakah misteri di sebaliknya? Apakah makna dan kefahaman kedua-dua golongan daripada ayat-ayat ini yang menunjukkan secara zahirnya masing-masing bertentangan?
Untuk menjawab pertanyaan ini lebih baik kita ambil bantuan daripada al-Qur'an sendiri, ini sebabkan sebahagian ayat al-Qur’an menafsirkan sebahagian yang lain.
Dalam surah al-Bayyinah kita membaca: (Sesungguhnya orang-orang kafir daripada kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh adalah sebaik-baik makhluk." (Qs. Al-Bayyinah [98]:6-7)
Kedua-dua ayat yang berada di dalam satu surah ini bersambungan antara satu sama lain. Ia mengingatkan “insan” sebagai makhluk yang terbaik dan terburuk. Subjek yang diterangkan merupakan garis lengkuk menaik dan menurun. Ini bermakna, sekiranya seseorang itu memiliki iman dan amalan soleh maka ia menjadi ciptaan Allah yang terbaik. Jikalau seseorang itu menuruti jalan kekufuran, kesesatan, meragui agama dan membantah maka prestasinya menurun dan menjadi sejahat-jahat ciptaan.
Imam Ali (a.s) dalam sebuah riwayat berkata: "Allah (s.w.t) menciptakan makluk alam semesta atas tiga jenis: Para malaikat, haiwan dan manusia. Para malaikat memiliki akal tapi tidak mempunyai syahwat dan amarah. Haiwan memiliki sekumpulan syahwat, amarah dan tidak berakal. Namun manusia adalah mendominasi himpunan daripada kedua-duanya. Sekiranya akal mengatasi syahwatnya maka ia lebih baik daripada malaikat. Jikalau syahwat yang menguasainya maka ia lebih rendah dari pada hewan.
Daripada riwayat ini dapatlah diambil kesimpulan bahawa sebagaimana manusia merupakan entiti dwi-dimensi (dimensi rohani dan jasmani), kecenderungannya juga terdiri daripada dua jenis (kecenderungan dan ketertarikan maknawi, serta kecenderungan haiwani dan jasmani) sehingga ia dapat dengan menggunakan kehendak dan pilihan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, ia memilih salah satu daripada dua kecenderungan tersebut dan mencapai kedudukan tinggi kemanusiaannya, atau sehingga ia terjatuh atau dengan bahasa al-Qur'an seburuk-buruk makhluk atau lebih rendah lagi.
      Kerana itu, ayat-ayat nurani al-Qur'an menyingkap realiti ini, iaitu seluruh manusia mempunyai kekuatan dan potensi supaya dapat menjadi sebaik-baik dan semulia-mulia makhluk, bahkan lebih mulia daripada para malaikat. Demikianlah sehingga ketika ia merealisasikan seluruh potensi ini maka ia dapat mencapai martabat khalifatullah. Namun sekiranya ia tidak memanfaatkan dan memberdayakan berbagai potensi Ilahiah ini sebaik mungkin, atau bahkan merosakkannya, maka ia menjadi sasaran kecaman Ilahi di mana contoh-contohnya telah kami utarakan dalam tulisan ringkas ini.
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami [ayat-ayat Allah] dan mereka mempunyai mata [tetapi] tidak dipergunakan untuk melihat [tanda-tanda kekuasaan Allah] dan mereka mempunyai telinga [tetapi] tidak dipergunakan untuk mendengar [ayat-ayat Allah]. Mereka itu seperti binatang ternakan, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." ~ Al-A'raaf : 179.


KESIMPULAN
       Kita memohon kepada Allah, agar dijauhkan dari pada segala ciri-ciri ini, dan menerafkan diri sebagai Khalifah di atas muka bumi. Sekalian umat Islam perlu memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi yang mengambil ringan tuntutan "Amar Makruf Nahi Mungkar", sehingga berleluasanya kemaksiatan dan kecelaruan nilai dalam kehidupan bermasyarakat.

No comments:

Post a Comment